MP3

Kamis, 29 September 2016

Agak Galau



Photo taken at Jembatan Sumbang Panyurak
Apakah arti sebuah perjuangan?
Jika tanpa perubahan
Lalu apakah arti sebuah harapan?
Jika tanpa kepastian

Bagaimana dengan sabar?
Apakah arti sabar itu?
Bila tiada ikhlas menyatu
Mengapa kini terasa kabur?

Ah ingin rasanya ku berbaring
Tenggelam dalam mimpi
Membiarkan jiwa menghayati sepi
Menjauh dari penat duniawi

Senin, 26 September 2016

Buntu Batuku Sayang,Buntu Batuku Malang

Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan upaya mempertahankan eksistensi Buntu Batu. Semua pihak bersatu padu menyamakan suara menolak upaya penambangan identitas warga panyurak khususnya dan desa lunjen pada umumnya ini. Segenap elemen tua,muda, tokoh masyarakat di kampung sampai para pembesar-pembesar kita di Kota daeng berhimpun dan kemudian bergerak melawan tirani para penguasa modal.
Dalam hal ini kita semua satu suara dan bersepakat bahwa tidak ada alasan Buntu batu menjadi lahan eksploitasi tambang. Pada konteks ini tak ada yang rela melihat simbol kampung Panyurak hilang diluluh lantakkan. Setiap orang mungkin akan memiliki kenyakinan lain diluar alasan umum penolakan tambang tersebut. Ada yang karena memiliki ‘trah’ atau garis keturunan kerajaan buntu batu, dan sisa-sisa peninggalannya akan hilang dan semakin biaslah kerajaan buntu batu itu. Ada yang karena masih berpegang teguh pada pesan para leluhur kita bahwa Buntu batu ini adalah sakral yang penuh dengan kekayaan sejarah serta filosofi. Lebih khusus lagi bahwa sampe detik ini kita masih menyakini bahwa ada warisan peninggalan nenek moyang kita berupa emas yang harus kita jaga.
Buntu Batu (terlihat dari Persawahan desa Pasui}
Meskipun sejarah empiris sampai detik ini tak satupun yang bisa menunjukkan letak emas tersebut disimpan. Namun cerita yang selalu disampaikan oleh orang tua kita ini adalah bukti bahwa buntu batu tak cuman sebuah batu besar namun dahulu kala adalah tempat peradaban leluhur, yang meskipun kita tak lagi menjumpai peti-peti pemakaman yang konon katanya kala itu menutupi tebing buntu batu. Kita pun kini tak bia lagi menikmati orisinalitas Tapak Tangan yang penuh kisah heroik itu akibat ‘Vandalisme’ (tindakan merusak situs dan warisan budaya). Jika saja pada saat pergolakan DI-TII peti-peti mati tersebut tidak dibakar oleh (red; Gerombolan) dengan alasan akan berpotensi menjadi ‘thagut’ dan dapat merusak aqidah maka banyak pihak yang menprediksikan bahwa buntu batu akan menjadi destinasi andalan saat ini. Namun disini tak usahlah kita larut dalam romansa dahulu. Karena semua sudah terjadi yang harus kita lakukan saat ini adalah terus menjaga sisa-sisa sejarah masa lalu.
Kembali pada masalah utama yaitu rencana eksplotasi buntu batu. Dalam hal ni penulis mengamati konstalasi dimasyarakat yang berkembang begitu dinamis. Layaknya teori perubahan sosial bahwa suatu masyarakat dapat dimanipulasi untuk mencapai tujuan tertentu. Beberapa analisi pun muncul:
1.       Bersatu padunya semua golongan menolak keras upaya penambangan karena informasi yang beredar bahwa objek tambangnya adalah buntu batu. Mengapa kita bisa sedemikian solid karena semua orang satu visi bahwa buntu batu ini adalah salah satu simbol dan identitas warga panyurak, dan jika ia nanti ditambang maka akan melukai hati orang panyurak. Kita bisa saksikan sekarang ini bahwa yang getol menolak tambang adalah warga panyurak dan mungkin sebagian elemen masyarakat lain. Lalu warga tetangga sebelah kita gimana responnya? Pembaca lebih tahu tentunya.
2.       Sangat nampak jelas ada konspirasi tingkat dewa yang coba dilancarkan oleh oknum-oknum yang hanya mementingkan urusan perut mereka. Mereka yang tak punya “sense of belongging” terhadap Buntu Batu. Mereka para pengkhianat sejarah mencoba mencari keuntungan dari kondisi ekonomi bangsa yang sedang labil. Bak istilah ‘Money talk’ kira-kira demikianlah kita dipecah belah para cukong dan pemilik modal dengan iming-iming sejumlah uang. Yang sangat lucu mereka para oknum tak tahu diri tersebut dengan entengnya menyetujui adanya tambang tersebut. Padahal mereka bukanlah orang yang tinggal di sekitar buntu batu. Tentu pembaca sudah mafhum kelompok yang penulis maksud (red; Mereka yang menandatangani surat pernyataan menyetujui tambang). 
Buntu Batu dipagi hari
3.       Bung karno pernah mengatakan “Jasmerah’ Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Berbicara buntu batu maka sudah pasti orang yang tahu sejarah maka akan mengatakan bahwa Buntu batu (secara fisik) adalah Panyurak dan sebaliknya. Artinya gunung batu ini adanya di Panyurak, bagi yang faham sejarah sesungguhnya Kerajaan Buntu batu sedari dulu berkedudukan di Buntu batu. Bekas lokasi ‘salassa’, Lesung batu dan sumur ‘nya pun ada di Buntu Batu. Itulah sebabnya Buntu Batu masuk dalam situs cagar budaya Pemkab. Enrekang, diakhir masa berdirinya barulah pindah ke ‘Pasui’.
4.       Nuansa politispun bisa dicium pada proses tambang ini objek tambangnya ada di Kec. Buntu Batu namun lokasi pengolahannya ditempat lain yang jaraknya ber mil-mil dari lokasi penambangan. Secara hitung-hitungan bianya operasional (ongkos angkut,bahan bakar dan maintenance alat) akan membengkak. Pada fase ini sejumlah fihak menghubungkan isu pemekaran Kab. Tanah duri dengan persoalan ini. Jika kelak hal ini bener-benar terjadi maka tak ada lagi supply pemasukan ke Kab. Enrekang. Pembaca sudah mengetahui bahwa wilayah Duri komplekslah yang menopang sebagain besar kabupaten Enrekang. Nah dengan adanya pengolahan marmer diluar Duri Kompleks maka setidaknya ada jaminan pemasukan daerah bagi mereka. Lalu kita dapat apa?? kita hanya akan dijadikan sapi perah kekayaan alam kita di keruk habis lalu diangkut ke tempat lain. FYI (for your information) jika tambang ini jadi maka masa operasinya bisa sampai puluhan tahun. Kebanyang tu berapa yang akan dihasilkan dari masa operasi dan luas tambang tersebut. Apalagi nilai barang yang telah diolah akan jauh berbeda dengan yang belum diolah.
5.       Ketidak transparan informasi mengenai rencana tambang ini sangat kental kita rasakan. Sejauh ini pihak perusahaan rasanya belum ada sosialisasi secara utuh kepada masyrakat panyurak. hal ini lah yang membuat kita miskin informasi. Beredar rumors bahwa pihak perusahaan melakukan pembicaraan dengan segelintir kelompok saja. Hal semacam ini sangat rentan ‘Masuk angin’ (istilah aktivis untuk mereka yang diberi janji atau deal-deal tertentu). Kekaburan informasi yang beredar sangat berdampak pada terpecahnya opini masyarakat Panyurak terhadap tambang ini akhirnya diawal-awal terjadi pro dan kontra terhadap penambangan. Pro dan kontra disini muncul sebagai akibat warga panyurak umumnya tidak mengetahui bahwa objek tambangnya adalah Buntu Batu itu sendiri. Ini terjadi karena di awal memang sudah di setting oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Palak Tau Photo By Arwhin Passura
6.       Mall Administrasi. Berkaca pada data dan fakta yang ada kecurigaan adanya mall administrasi perizinan tambang ini terkonfirmasi dengan ketidak sesuaian informasi yang ada . Sebagaimana kita tahu bahwa perizinan tambang sekarang wewenanngya ke Provinsi, Lalu provinsi mendapatkan data mengenai objek tambang dari siapa?. Sudah jelas dari Pemkab (dinas pertambangan dan stakeholders terkait). Penulis mencurigai bahwa pihak provinsi kabur informasi soal keberadaan situs cagar budaya Buntu batu. Jika mereka mereka mengetahuinya dan mengeluarkan izin penambangan maka secara langsung telah melanggar aturan perundang-undangan mengenai situs cagar budaya. Dengan kata lain terjadi pemalsuan dokumen yang dilakukan pihak perusahaan (yang bisa jadi dibantu ataupun difasilitasi oleh oknum-oknum tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan).
Hikmah yang dapat kita petik dari rentetan kejadian skandal tambag maremer buntu batu adalah terjadi perubahan drastis pola komunikasi ditatanan masyarakat panyurak. Alur komunikasi yang selama ini berjalan sangat baik melalui pertemuan-pertemuan kini sangat jarang dilakukan. Elemen masyarakat yang telah terpolarisasi ini sangat rentan disusupi dan dipecah belah. Marilah kita belajar dari sejarah bangsa ini yang dengan mudahnya dipecah belah oleh Belanda dengan politik adu domba karena kita lebih mengedepankan perbedaan-perbedaan dari pada kesamaan-kesamaan yang kita miliki. Mari kita galakkan lagi musyawarah, dengan intensenya elit kampung bertemu maka akan memudahkan gerakan-gerakan yang akan dilaksanakan (Pergerakan itu mustahil dilakukan tanpa berhimpun/musyawarah). dengan adanya konsolidasi maka gerakan yang dilaksanakan akan lebih terencana dan memungkinkan hasil yang lebih baik.
Photo By AndriGmc Pewalisadda
‘Solid’ atau bahasa sederhananya ‘persatuan’ harus terus dijaga. Memang dewasa ini tak semua hal di Panyurak dapat dipersatukan, namun hal-hal tertentu sebut saja gotong royong harus menjadi perhatian kita semua. Walau kita tak semua satu faham terhadap sesuatu akan tetapi silaturrahmi wajib kita tetap pelihara. Kondisi maju dan mundurnya kampung yang sama kita cintai ini sangat bergantung pada bagaimana warganya tetap melaksanakan kerja-kerja sosial demi terciptanya suasana kampung yang harmonis namun dinamis. Kerja-kerja sosial ini memang tidak mudah apa lagi  tidak ada profit langgsung yang kita dapatkan. Dalam tataran ini kita patut bersyukur karena saat ini masih banyak pemuda dan tokoh masyarakat panyurak yang masih konsen pada perbaikan dan kemajuan kampung. mendorong untuk memakmurkan masjid, Memfasilitasi kegiatan pemuda, mendorong generasi muda untuk giat belajar sampai perguruan tinggi dan masih banyak lagi hal lain yang telah dilakukan.
Samarinda 20 September 2016
Muh. Tasrin S

Selasa, 20 September 2016

“Napo” Lumbung aktivitas pertanian warga Buntu Liku


Photo by Wahyu Rongka

Sebagai salah satu desa yang warganya mengandalkan aktivitas pertanian dan perkebunan untuk menopang hidup, menjadikan panyurak sebagai salah satu kampung yang banyak memiliki lokasi persawahan yang potensial. Lokasi persawahan ini mulai dari Bamba,To’ Pao,Tangnga Kampong sampai Buntu Liku. Jika menyebut Buntu Liku maka kita akan langsung teringat sebuah lokasi persawahan yang sedari dulu menjadi pusat kegiatan pertanian masyarakat di ujung kampung Panyurak ini. Lokasi tersebut adalah Napo, sebuah tempat persawahan yang diapit diantara kampung panyurak dan desa Banca ini adalah jantung pertanian yang sejak dulu terkenal mampu menghasilkan ber ton-ton hasil padi yang menyuplai kebutuhan warga Buntu Liku.


Secara geografis Napo sangat strategis karena dikelilingi oleh bukit bukit sehingga membuat Napo menyerupai lembah atau dalam bahasa duri disebut Lombok. Jika dibandingkan wajah Napo tempo dulu dengan sekarang sudah banyak sekali perubahan. Perubahan yang terjadi sangat nampak jelas dari kuantitas musim tanam yang jika dulu bisa sampai 3 kali dalam satu tahun kini paling banyak hanya sampai 2 kali dalam satu tahun. Berkurangnya sumber air akibat maraknya penebangan hutan menjadi lahan pertanian baru di sekitar buntu Mondong berimbas pada para petani yang sangat bergantung pada air. Kondisi cuaca yang tak menentu pun ikut mempengaruhi kegiatan pertanian petani. 

Selain perubahan yang sifatnya negatif beberapa perubahan positif juga hadir mewarnai Napo. Kini telah dibangun jalan tani menuju Napo membuat jarak tempu menjadi singkat dengan sepeda motor. Kini tak ada lagi namanya “mampassan resa’”, pasca panen gabah langsung dapat diangkut dengan memakai motor. Tempo dulu warga bergotong royong dengan memikul hasil panen kini pun sama,bedanya saat ini memakai kendaraan motor.
Hal lain yang tak berubah adalah gotong royong yang masih kental melekat pada kegiatan pertanian. Saat masa tanam tiba ramai-ramai warga kampung saling membantu (red: pabalian) menanam padi. Semua orang turun tangan terkusus kaum adam. Adapun para ibu ibu dan remaja puteri akan menyiapkan makanan khas masyarakat duri yang akan disantap setelah proses tanam usai.

Dengan kemajuan teknologi sekarang ini hampir semua petani membajak sawa dengan mesin traktor yang di sebut “dompeng”. Hal ini mempersingkat waktu penggarapan lahan karena tak lagi memakai tenaga kerbau.
Hal lain yang kini berbeda adalah dulu kala Napo diwaktu “mangramba” sampai masa panen sangat ramai oleh anak-anak. Mereka akan ke Napo setelah jam sekolah untuk bermain. Ada yang bermain layang-layang, ada yang menangkap belut,ada yang menangkap karapuak (sejenis burung air berwarna hitam dan putih yang suka hidup dipersawahan), dan ada juga yang bermain dolodio (Intrument musik yang terbuat dari batang padi kemudian dibalut dengan daun kelapa sampai menyerupai terompet).

Aktivitas ini sangat menyenangkan apalagi jika malam minggu tiba maka ramai-ramai lah anak kecil,tua dan muda menginap di Napo ini terutama ketika masa panen. “Mangngampah itulah namanya,penulis sangat senang dengan kegiatan ini karena kita akan merasakan kemurnian dan keheningan malam yang sebenarnya. Menikmati ikan bakar dan belut hasil tangkapan sore hari sungguh nikmat walau hanya dengan garam dan sambel pedas sebagai penyedapnya.
Photo by Iwan Longgy

kegiatan serupa meskipun masih ada namun sudah tidak sesering dulu lagi. kini anak-anak dan remaja lebih memilih bermain ‘COC’ dan permainan online sejenis di smartphone mereka. ini semua kerena kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung. semua patut disyukuri karena setiap masa akan berbeda dan memiliki keunikannya sendiri. Yang jelas mari kita tidak melupakan identitas kita sebagai masyarakat yang mencintai alam, rawatlah sawah,kebun dan sungai kita dengan kita dengan baik agar kelak bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.