![]() |
Photo by Wahyu Rongka |

Sebagai salah satu desa yang warganya mengandalkan
aktivitas pertanian dan perkebunan untuk menopang hidup, menjadikan panyurak
sebagai salah satu kampung yang banyak memiliki lokasi persawahan yang
potensial. Lokasi persawahan ini mulai dari Bamba,To’ Pao,Tangnga Kampong
sampai Buntu Liku. Jika menyebut Buntu Liku maka kita akan langsung teringat
sebuah lokasi persawahan yang sedari dulu menjadi pusat kegiatan pertanian
masyarakat di ujung kampung Panyurak ini. Lokasi tersebut adalah Napo, sebuah
tempat persawahan yang diapit diantara kampung panyurak dan desa Banca ini
adalah jantung pertanian yang sejak dulu terkenal mampu menghasilkan ber ton-ton
hasil padi yang menyuplai kebutuhan warga Buntu Liku.
Secara geografis Napo sangat strategis karena
dikelilingi oleh bukit bukit sehingga membuat Napo menyerupai lembah atau dalam
bahasa duri disebut Lombok. Jika dibandingkan wajah Napo tempo dulu dengan
sekarang sudah banyak sekali perubahan. Perubahan yang terjadi sangat nampak
jelas dari kuantitas musim tanam yang jika dulu bisa sampai 3 kali dalam satu
tahun kini paling banyak hanya sampai 2 kali dalam satu tahun. Berkurangnya
sumber air akibat maraknya penebangan hutan menjadi lahan pertanian baru di
sekitar buntu Mondong berimbas pada para petani yang sangat bergantung pada
air. Kondisi cuaca yang tak menentu pun ikut mempengaruhi kegiatan pertanian
petani.
Selain perubahan yang sifatnya negatif beberapa
perubahan positif juga hadir mewarnai Napo. Kini telah dibangun jalan tani
menuju Napo membuat jarak tempu menjadi singkat dengan sepeda motor. Kini tak ada
lagi namanya “mampassan resa’”, pasca panen gabah langsung dapat diangkut
dengan memakai motor. Tempo dulu warga bergotong royong dengan memikul hasil
panen kini pun sama,bedanya saat ini memakai kendaraan motor.
Hal lain yang tak berubah adalah gotong royong
yang masih kental melekat pada kegiatan pertanian. Saat masa tanam tiba
ramai-ramai warga kampung saling membantu (red: pabalian) menanam padi. Semua
orang turun tangan terkusus kaum adam. Adapun para ibu ibu dan remaja puteri
akan menyiapkan makanan khas masyarakat duri yang akan disantap setelah proses
tanam usai.
Dengan kemajuan teknologi sekarang ini hampir
semua petani membajak sawa dengan mesin traktor yang di sebut “dompeng”. Hal
ini mempersingkat waktu penggarapan lahan karena tak lagi memakai tenaga
kerbau.
Hal lain yang kini berbeda adalah dulu kala Napo
diwaktu “mangramba” sampai masa panen sangat ramai oleh anak-anak. Mereka akan
ke Napo setelah jam sekolah untuk bermain. Ada yang bermain layang-layang, ada
yang menangkap belut,ada yang menangkap karapuak (sejenis burung air berwarna
hitam dan putih yang suka hidup dipersawahan), dan ada juga yang bermain
dolodio (Intrument musik yang terbuat dari batang padi kemudian dibalut dengan
daun kelapa sampai menyerupai terompet).
Aktivitas ini sangat menyenangkan apalagi jika
malam minggu tiba maka ramai-ramai lah anak kecil,tua dan muda menginap di Napo
ini terutama ketika masa panen. “Mangngampah itulah namanya,penulis sangat
senang dengan kegiatan ini karena kita akan merasakan kemurnian dan keheningan
malam yang sebenarnya. Menikmati ikan bakar dan belut hasil tangkapan sore hari
sungguh nikmat walau hanya dengan garam dan sambel pedas sebagai penyedapnya.
![]() |
Photo by Iwan Longgy |
kegiatan serupa meskipun masih ada namun sudah
tidak sesering dulu lagi. kini anak-anak dan remaja lebih memilih bermain ‘COC’
dan permainan online sejenis di smartphone mereka. ini semua kerena kemajuan
teknologi yang tidak bisa dibendung. semua patut disyukuri karena setiap masa
akan berbeda dan memiliki keunikannya sendiri. Yang jelas mari kita tidak
melupakan identitas kita sebagai masyarakat yang mencintai alam, rawatlah
sawah,kebun dan sungai kita dengan kita dengan baik agar kelak bisa dinikmati
oleh generasi selanjutnya.
muantap.......
BalasHapussy Baru belajar senior..hehe
Hapus