MP3

Selasa, 20 September 2016

“Napo” Lumbung aktivitas pertanian warga Buntu Liku


Photo by Wahyu Rongka

Sebagai salah satu desa yang warganya mengandalkan aktivitas pertanian dan perkebunan untuk menopang hidup, menjadikan panyurak sebagai salah satu kampung yang banyak memiliki lokasi persawahan yang potensial. Lokasi persawahan ini mulai dari Bamba,To’ Pao,Tangnga Kampong sampai Buntu Liku. Jika menyebut Buntu Liku maka kita akan langsung teringat sebuah lokasi persawahan yang sedari dulu menjadi pusat kegiatan pertanian masyarakat di ujung kampung Panyurak ini. Lokasi tersebut adalah Napo, sebuah tempat persawahan yang diapit diantara kampung panyurak dan desa Banca ini adalah jantung pertanian yang sejak dulu terkenal mampu menghasilkan ber ton-ton hasil padi yang menyuplai kebutuhan warga Buntu Liku.


Secara geografis Napo sangat strategis karena dikelilingi oleh bukit bukit sehingga membuat Napo menyerupai lembah atau dalam bahasa duri disebut Lombok. Jika dibandingkan wajah Napo tempo dulu dengan sekarang sudah banyak sekali perubahan. Perubahan yang terjadi sangat nampak jelas dari kuantitas musim tanam yang jika dulu bisa sampai 3 kali dalam satu tahun kini paling banyak hanya sampai 2 kali dalam satu tahun. Berkurangnya sumber air akibat maraknya penebangan hutan menjadi lahan pertanian baru di sekitar buntu Mondong berimbas pada para petani yang sangat bergantung pada air. Kondisi cuaca yang tak menentu pun ikut mempengaruhi kegiatan pertanian petani. 

Selain perubahan yang sifatnya negatif beberapa perubahan positif juga hadir mewarnai Napo. Kini telah dibangun jalan tani menuju Napo membuat jarak tempu menjadi singkat dengan sepeda motor. Kini tak ada lagi namanya “mampassan resa’”, pasca panen gabah langsung dapat diangkut dengan memakai motor. Tempo dulu warga bergotong royong dengan memikul hasil panen kini pun sama,bedanya saat ini memakai kendaraan motor.
Hal lain yang tak berubah adalah gotong royong yang masih kental melekat pada kegiatan pertanian. Saat masa tanam tiba ramai-ramai warga kampung saling membantu (red: pabalian) menanam padi. Semua orang turun tangan terkusus kaum adam. Adapun para ibu ibu dan remaja puteri akan menyiapkan makanan khas masyarakat duri yang akan disantap setelah proses tanam usai.

Dengan kemajuan teknologi sekarang ini hampir semua petani membajak sawa dengan mesin traktor yang di sebut “dompeng”. Hal ini mempersingkat waktu penggarapan lahan karena tak lagi memakai tenaga kerbau.
Hal lain yang kini berbeda adalah dulu kala Napo diwaktu “mangramba” sampai masa panen sangat ramai oleh anak-anak. Mereka akan ke Napo setelah jam sekolah untuk bermain. Ada yang bermain layang-layang, ada yang menangkap belut,ada yang menangkap karapuak (sejenis burung air berwarna hitam dan putih yang suka hidup dipersawahan), dan ada juga yang bermain dolodio (Intrument musik yang terbuat dari batang padi kemudian dibalut dengan daun kelapa sampai menyerupai terompet).

Aktivitas ini sangat menyenangkan apalagi jika malam minggu tiba maka ramai-ramai lah anak kecil,tua dan muda menginap di Napo ini terutama ketika masa panen. “Mangngampah itulah namanya,penulis sangat senang dengan kegiatan ini karena kita akan merasakan kemurnian dan keheningan malam yang sebenarnya. Menikmati ikan bakar dan belut hasil tangkapan sore hari sungguh nikmat walau hanya dengan garam dan sambel pedas sebagai penyedapnya.
Photo by Iwan Longgy

kegiatan serupa meskipun masih ada namun sudah tidak sesering dulu lagi. kini anak-anak dan remaja lebih memilih bermain ‘COC’ dan permainan online sejenis di smartphone mereka. ini semua kerena kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung. semua patut disyukuri karena setiap masa akan berbeda dan memiliki keunikannya sendiri. Yang jelas mari kita tidak melupakan identitas kita sebagai masyarakat yang mencintai alam, rawatlah sawah,kebun dan sungai kita dengan kita dengan baik agar kelak bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.

2 komentar: